Mengenal Istilah Quiet Quitting dalam Budaya Perusahaan

Artikel ini mengulas fenomena ketika karyawan hadir tetapi berhenti memberikan kontribusi lebih. Dengan dukungan data Gallup dan studi terbaru, tulisan ini menjelaskan penyebab, dampak, serta risiko strategisnya bagi organisasi. Bacaan ini membantu pemimpin memahami bagaimana fenomena ini memengaruhi motivasi, produktivitas, dan kesehatan budaya kerja.

11/19/20252 min baca

Mengenal Istilah Quiet Quitting dalam Budaya Perusahaan

Di dunia bisnis saat ini, banyak organisasi yang bangga memiliki budaya high performance, sebuah budaya kerja di mana seluruh individu dan tim berorientasi pada kinerja terbaik, kolaborasi yang kuat, dan hasil yang terukur.

Belakangan ini, seseorang yang memiliki kinerja yang tinggi dan terbaik saat ini memilih untuk tidak keluar secara eksplisit, melainkan berhenti memberi kontribusi ekstra dan fenomena ini dikenal sebagai quiet quitting. Hal ini menunjukan bahwa merupakan sebuah budaya yang mengalami fenomena tertutup.

Artikel ini akan membahas secara komprehensif tentang makna quiet quitting serta bukti empiris yang menunjukkan bagaimana tren ini memengaruhi produktivitas, motivasi, dan dinamika organisasi di berbagai sektor.

Mengenal Istilah Quiet Quitting

Istilah quiet quitting merujuk pada keadaan di mana karyawan tetap hadir secara fisik, namun berhenti memberi lebih dari tugas minimum. Mereka “ada”, tetapi tidak benar-benar hadir secara penuh secara emosional atau kognitif.

Laporan Gallup 2023 dalam Gallup’s State of the Global Workforce: What we can do about low engagement, quiet quitting and workplace stress menyebutkan bahwa mayoritas pekerja di dunia sedang melakukan quiet quitting atau tidak terlibat sepenuhnya dalam pekerjaan mereka, bahkan loudly quitting yaitu menunjukkan ketidakpuasan mereka secara terbuka.

Bagi perusahaan dengan budaya kinerja tinggi, fenomena ini membawa tantangan yang lebih kompleks. Para pekerja yang memiliki performa sangat baik cenderung memiliki ekspektasi besar terhadap pengakuan, kesempatan berkembang, otonomi, dan makna kontribusi. Namun, ketika organisasi terus menuntut lebih banyak hasil tanpa memperbarui ekspektasi, komunikasi, atau penghargaan terhadap upaya mereka, kelelahan emosional pun muncul.

Dalam situasi seperti ini, bahkan talenta terbaik dapat memutuskan untuk tetap bekerja, namun tanpa semangat untuk memberikan sesuatu yang melebihi standar yang diharapkan. Bagi pemimpin bisnis, memahami dan mengatasi quiet quitting bukan hanya tentang menjaga produktivitas, tetapi juga tentang membangun budaya kerja yang manusiawi, inklusif, dan berorientasi pada keseimbangan jangka panjang.

Melihat Bukti Empiris

Menurut data Harter (2024) dalam laporan Gallup terbaru, hanya sekitar 23% karyawan global yang benar-benar terlibat secara aktif dengan pekerjaannya sepanjang tahun 2022. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja di dunia masih berada dalam kondisi keterlibatan rendah atau low engagement.

Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan. Banyak organisasi yang menghadapi tantangan struktural seperti kelelahan kerja, beban berlebih, kurangnya pengakuan, dan kepemimpinan yang tidak memberdayakan. Kondisi tersebut menciptakan jarak emosional antara karyawan dan perusahaan, yang pada akhirnya melahirkan perilaku quiet quitting.

Kecenderungan ini diperkuat oleh laporan Crossover (2023) yang menunjukkan bahwa sekitar 59% pekerja global berada dalam kategori quiet quitting. Ini menandakan bahwa ketidaklibatan karyawan secara emosional, mental, dan motivasional bukan lagi masalah individu, melainkan isu sistemik dalam dunia kerja modern.

Lebih jauh lagi, Gallup (2023) memperkirakan bahwa rendahnya tingkat keterlibatan ini menyebabkan kerugian produktivitas global hingga USD 8,8 triliun, atau sekitar 9% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Angka tersebut menggambarkan bahwa ketidaklibatan bukan sekadar masalah moral kerja, tetapi juga berdampak nyata pada kinerja ekonomi global.

Di sisi lain, sejumlah studi akademis juga menunjukkan bahwa pelanggaran psychological contract atau sebuah situasi ketika ekspektasi karyawan terhadap dukungan, keadilan, dan penghargaan dari organisasi tidak terpenuhi sangat berperan besar dalam memicu perilaku quiet quitting.

Dampak fenomena ini menjadi lebih signifikan ketika menyentuh kelompok karyawan dengan kinerja terbaik dan memiliki potensi besar bagi perusahaan. Mereka umumnya memiliki ekspektasi tinggi terhadap kesempatan berkembang, otonomi, serta makna dalam pekerjaan mereka.

Ketika organisasi gagal memenuhi ekspektasi tersebut, quiet quitting di kalangan talenta terbaik dapat mengakibatkan hilangnya nilai strategis yang seharusnya diterjemahkan menjadi inovasi, kepemimpinan, dan keunggulan kompetitif. Oleh karena itu, bagi pemimpin bisnis, memahami fenomena ini bukan hanya soal mengelola kepuasan kerja, tetapi juga menjaga aset intelektual dan energi produktif organisasi agar tetap terhubung dengan tujuan dan visi perusahaan.